Minggu, 13 Januari 2013


TUGAS
HUKUM KESEHATAN
“INFORMED CONSENT”



Disusun:
ERNA FITRI SUSANTI
11144600065
A2-11

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA
2012

Latar Belakang
Tenaga kesehatan, pasien dan rumah sakit adalah tiga subjek hukum yang terkait dalam bidang pemeliharaan kesehatan dalam mewujudkan kesehatan yang optimal. Ketiganya membentuk baik hubungan medik maupun hubungan hukum.  Dimana hubungan tersebut memungkinkan untuk terjadinya suatu konflik. Sehingga diperlukan suatu peraturan hukum yang mengatur agar hubungan tersebut tetap terjalin dengan baik. Dalam rangka memberikan kepastian dan perlindungan hukum, maka lahirlah UU No.23 Tahun 1999 tentang kesehatan.
Menurut PERMENKES No.290/Menkes/Per/III/2008 Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan oleh pasien tersebut. Adapun yang menjadi dasar hukum terjadinya informed consent yaitu:
Peraturan Menteri Kesehatan No. 585 tahun 1989 Pasal 4 ayat 1, informasi diberikan kepada pasien baik diminta ataupun tidak diminta.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 585 tahun 1989 Pasal 2 ayat 2, semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
Peraturan Menteri Kesehatan No. 585 tahun 1989 Pasal 13, apabila tindakan medik dilakukan tanpa adanya persetujuan dari pasien atau keluarganya, maka dokter dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin prakteknya.
Jika dilihat secara materiil, Informed Consent  lebih tepat masuk dalam sumber hukum yang lain, yaitu perjanjian. Namun jika melihat latar belakang dan substansinya maka Informed Consent tidak dapat dilepaskan dari doktrin, namun lebih dari itu merupakan suatu kewajiban memberikan informasi walaupun secara maeriil isi dan bentuknya berupa perjanjian. Oleh karena itu Informed Consent lebih dikaitkan dengan doktrin daripada dengan perjanjian, karena pokok pembahasan dari Informed Consent lebih ditekankan pada kewajiban memberikan informasi yang benar.  Akan tetapi kaidah-kaidah  hukum yang ada didalam PERMENKES No.290/Menkes/Per/III/2008, masih sering kali membingungkan, baik bagi dokter maupun bagi pasien. Dalam hal penting atau tidaknya harus ada persetujuan medik pada setiap tindakan medik yang dilakukan kepada pasien. Oleh karena itu, sebaiknya kita selaku pemberi pelayanan kesehatan maupun penerima pelayanan kesehatan hendaknya memahami lebih jauh apa yang dimaksud dengan Informed Consent.

Permasalahan
Informed consent sangat erat kaitannya dengan tindakan medis yang artinya adalah suatu transaksi untuk menentukan atau upaya untuk mencari terapi yang paling tepat bagi pasien yang dilakukan oleh dokter.
Berdasarkan hubungan antara informed consent dan tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter, dapat dikatakan bahwa informed consent merupakan komponen utama yang mendukung adanya tindakan medis tersebut, namun apakah tujuan dari informed consent tersebut? Apa sajakah bentuk-bentuk dari informed consent? Selain itu, informasi-informasi apa sajakah yang harus disampaikan dokter pada pasien? Apakah Informed consent berfungsi bagi kedua belah pihak yaitu pihak pemberi pelayanan kesehatan (tenaga medis) dan pihak penerima pelayanan medis (pasien)?

Pembahasan
Tujuan Informed Consent
Pengadaan informed consent memiliki bebrapa tujuan, diantaranya menurut J. Guwandi adalah:
Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien;
Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan semaksimal mungkin dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.

Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat menjadi tiga bentuk, yaitu:
Persetujuan tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang kuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent).
Persetujuan lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien.
Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.

Informasi yang harus diberikan oleh dokter dengan lengkap kepada pasien menurut UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 45, ayat (3) sekurang-kurangnya mencakup:
Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
Alternatif tindakan lain dan risikonya;
Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
Prognosis (kemungkinan hasil perawatan) terhadap tindakan yang dilakukan.
Selain itu, sebaiknya pasien juga diberikan beberapa masukan, diantaranya:
Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan medis tertentu (masih berupa upaya percobaan).
Deskripsi tentang efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tidak diinginkan yang mungkin timbul.
Deskripsi tentang keuntungan-keuntungan yang dapat diantisipasi untuk pasien.
Penjelasan tentang perkiraan lamanya prosedur/terapi/tindakan berlangsung.
Deskripsi tentang hak pasien untuk menarik kembali consent tanpa adanya prasangka mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaganya.
Prognosis tentang kondisi medis pasien bila ia menolak tindakan medis tersebut.
Sebaiknya, diberikan juga penjelasan yang berkaitan dengan pembiayaan.

Informed consent memiliki fungsi yang menyangkut kedua belah pihak yaitu pihak pemberi pelayanan kesehatan (tenaga medis) dan pihak penerima pelayanan medis (pasien), diantaranya:
Fungsi Informed Consent bagi pasien adalah sebagai berikut:
Sebagai dasar atau landasan bagi persetujuan (Consent) yang akan ia berikan kepada dokter.
Perlindungan atas hak pasien untuk menentukan dirinya sendiri.
Melindungi dan menjamin pelaksanaan hak pasien yaitu untuk menentukan apa yang harus dilakukan terhadap tubuhnya yang dianggap lebih penting daripada pemulihan.
Fungsi Informed Consent bagi dokter
Membantu lancarnya tindakan kedokteran.
Meningkatkan mutu pelayanan.
Melindungi dokter dari kemungkinan tindakan hukum.
PENUTUP
KESIMPULAN
Informed Consent merupakan persetujuan yang diberikan oleh pasien dan keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya sera resiko yang berkaitan dengannya setelah dokter memberikan penjelasan secara lengkap dan jelas. Informed Consent ini secara umum dapat berupa persetujuan tertulis, lisan dan isyarat. Informed Consent juga sangat penting dilakukan sebelum dilaksanakan tindakan medis terutama yang bersifat invasif. Informed consent memiliki fungsi yang menyangkut kedua belah pihak yaitu pihak pemberi pelayanan kesehatan (tenaga medis) dan pihak penerima pelayanan medis (pasien),
SARAN
Dalam menjelaskan Informed Consent dokter diharapkan menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh masyarakat, sehingga masyarakat dapat mengerti akan kegunaan dari Informed Consent tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
www.konsultasikewanitaan.com
J. Guwandi, Dokter, Pasien dan Hukum, Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2003
UU No.23 Tahun 1999 tentang kesehatan
PERMENKES No.290/Menkes/Per/III/2008 Informed Consent
PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 pasal 3 ayat (1)
UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar